KSR PMI Unit UNP

KSR PMI Unit UNP

Jumat, 02 Mei 2014

Disiplin Waktu Ala Indonesia


Setelah membahas disiplin waktu ala Jepang di bagian kedua, tulisan ini akan membandingkannya dengan di Indonesia. Kita tentu sering mendengar “besok” atau “mbesok” dalam aksen bahasa Jawa. Kata ini mempunyai arti 24 jam setelah sekarang. Tapi di Indonesia, “besok” bisa menjadi lusa atau bahkan minggu depan. Begitu yang ditulis oleh Terry Morrison & Wayne Conaway dalam buku best seller “Kiss, Bow, or Shake Hand: How Tod Do Business in 60 Countries”. Buku ini membahas tentang tips, etika dan budaya dalam melakukan bisnis di 60 negara (termasuk di Indonesia). Tanpa disadari, budaya “besok” yang dimiliki oleh bangsa kita menjadi terkenal di manca Negara.
Belum cukup sampai di situ, di buku tersebut ditulis juga: “In general, Indonesians arrive a half hour late”. Anda setuju? Atau malah menyalahkan buku itu karena orang Indonesia pada umumnya telat satu jam, bukan setengah jam? “Jam karet”, begitulah istilah yang sudah umum di Indonesia untuk menggambarkan keterlambatan. “Besok” bisa melar seperti karet menjadi lusa atau beberapa hari lagi. Rentang waktu “besok” mempunyai jangkauan yang panjang dan tidak pasti. Padahal kepastian diperlukan untuk mendukung pengambilan keputusan.

Karena sudah menjadi biasa, akhirnya menjadi budaya yang diterima oleh banyak kalangan. Jangan heran, banyak orang dari negara lain atau orang Indonesia yang lama tinggal di luar negeri akhirnya malah mengikuti budaya ini. Arus jam karet lebih kuat sehingga menarik arus disiplin waktu yang lebih lemah tenaganya. Dampak dari jam karet atau keterlambatan ini adalah timbulnya “jalan pintas” yang menerjang arus jam karet. Kalau kita mempunyai suatu urusan yang memakan waktu lama, maka ada “jalan pintas” agar bisa lebih cepat. Dan tidak ada “jalan pintas” yang gratis.

Dampak lain dari jam karet adalah tertundanya beberapa kegiatan lain sebagai rentetan akibat dari jam karet pada acara sebelumnya. Apabila diakumulasikan, telah terjadi inefisiensi yang luar biasa. Cuma karena banyak yang tidak menyadarinya serta sudah terbiasa, yang luar biasa menjadi biasa. Contohnya adalah suatu acara yang sudah dijadwalkan akan berlangsung dua jam dari jam 10 sampai jam 12. Kemudian rapat tersebut tertunda setengah jam karena peserta rapat banyak yang datang terlambat. Dengan asumsi rapat tetap dua jam serta waktu istirahat jam 12, maka telah terjadi pemborosan waktu, tenaga dan sumber daya listrik yang dikali setengah jam. Dengan asumsi rapat diakhiri jam 12, maka telah terjadi inefisiensi dalam pembahasan materi rapat yang cenderung akan dibahas secara tergesa-gesa karena kurangnya waktu. Inefisiensi juga akan terjadi pada rentetan kegiatan berikutnya karena keterlambatan rapat tersebut.

Apakah budaya ini bisa diubah? Tentu saja, asal ada kemauan dan dimulai dari diri sendiri setiap individu maka Indonesia akan bergerak menjadi masyarakat yang tepat waktu.

0 komentar:

Posting Komentar